Monday 15 February 2016

The Journey of Value Based Leadership

Kekuatan seorang value based leader terletak pada nilai diri yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Dirinya selalu sadar tentang hal itu dan konsisten menjadikan “nilai” sebagai sudut pandang dalam segala hal termasuk pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan individu-individu tersebut mampu memaknai perjalanan hidupnya. Dalam setiap “journey” yang dialaminya, ia tahu pelajaran apa yang harus diingat dan dimasukkan ke dalam alam bawah sadarnya, sehingga terkristalisasi dalam bentuk nilai yang merupakan ciri otentik dirinya dalam langkah kehidupan selanjutnya.

Skenario “journey” pembentukan karakter pemimpin yang dialami oleh tiap-tiap individu pastilah berbeda-beda. Namun, setidaknya kita dapat membuat suatu skenario “artificial journey” sebagai bentuk refleksi atas peristiwa yang pernah dialami dalam kehidupan banyak individu. Skenario tersebut merupakan skema experiential learning yang mengkondisikan setiap orang untuk mencatat serta memaknai berbagai bentuk peristiwa yang mungkin pernah dialami sebelumnya. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang menyadari tentang hal apa saja yang dapat membawa dirinya menuju pribadi yang memiliki karakter pemimpin berbasis value, di antaranya yaitu:

1. Belajar dari sejarah: mengais hikmah keteledanan tokoh bangsa
Memahami tentang niai diri dapat diraih dengan cara menelusur kembali lorong waktu untuk mampu menemukan esensi nilai kepemimpinan dalam diri tokoh bangsa ketika melakukan perubahan.  Subtansi tersebut harus dibahas relevansinya dengan isu kekinian agar dipahami bagaimana para tokoh bangsa mampu tampil melakukan perubahan berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Visitasi ke situs-situs sejarah atau sarana yang menampilkan perjalanan sejarah kebangsaan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan “rasa” tentang perjuangan. Apalagi diikuti dengan diskusi tentang nilai dan teladan dari para tokoh tersebut, hal itu dapat membangkitkan emosi perjuangan yang mendorong kepada rasa ingin mengulangi kesuksesan proses perubahan dari keterjajahan menuju kepada kemerdekaan.
Di bawah matahari sejarah, peristiwa selalu berulang pada waktu dan tempat yang berbeda. Isu-isu keterjajahan saat itu, juga sebenarnya terjadi pada masa sekarang dengan bentuk dasar yang sebenarnya tidak jauh berbeda. Skemanya selalu sama, yaitu pemerasan sumber daya alam untuk dinikmati oleh bangsa penjajah dalam bentuk perniagaan yang tidak adil. Hanya saja, dahulu penjajah menggunakan senjata sebagai kekuatan, sekarang menggunakan hukum tata niaga dan arbritase internasional untuk menguasai sumber daya alam agar dapat dinikmati dengan tidak adil. Komoditasnya pun berbeda, dahulu bentuknya rempah-rempah sedangkan sekarang bentuknya minyak bumi dan bahan tambang.
Berlatar belakang ketidakadilan itulah, banyak tokoh bangsa tampil untuk membela rakyat Indonesia. Pangeran Diponegoro, Panglima Sudirman, HOS Cokroaminoto, dan Bung Tomo adalah sedikit dari sekian banyak figur yang tampil sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu, seorang value based leader zaman sekarang juga harus mampu menampilkan nilai diri sebagaimana para tokoh bangsa kala itu.
Berguru kepada pejuang bangsa seharusnya juga dapat menciptakan pemahaman terhadap nilai-nilai yang sebenarnya terkandung dalam Pancasila karena nilai-nilai itu begitu wujud dalam diri mereka. Penelusuran lorong waktu akan merekonstruksi pemikiran kita terhadap Pancasila. Selama ini, kita mungkin merasakan aroma klise kala membicarakan Pancasila karena miskinnya sosok teladan yang dapat mewujudkan nilai-nilai itu dalam perbuatan. Atau karena selama ini kita memahami Pancasila secara kognitif sehingga kita kehilangan rasa pemahaman terhadap nilai-nilai hasil pemikiran para pendiri bangsa tersebut. Ketika kita sudah dapat merasakan agungnya nilai yang ada dalam Dasar Negara itu, maka sesungguhnya kita sudah memiliki bekal dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. 

2. Memaknai integritas sebagai determinasi pemimpin dalam menciptakan inovasi yang bernilai manfaat bagi customer
Seorang value based leader harus mampu “menangkap” realitas sosial dalam praktek penyelenggaraan layanan kepada customer (dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentulah masyarakat atau publik yang menjadi customer-nya). Seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas untuk jujur, peduli  dan mampu berpikir jernih dalam menangkap realitas sosial yang dihadapinya. Ia juga harus mampu mengukur “kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran seorang pemimpin dalam melayani kepentingan publik.  Itulah wujud integritas seorang pemimpin. Segala keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan selalu berpihak pada nilai-nilai universal dan selalu dimotivasi oleh keinginan untuk bermanfaat. Hal itu dapat mendorong seseorang untuk memiliki determinasi atau kesungguhan dalam mencari solusi terbaik hingga menghasilkan karya inovatif atas setiap realitas yang dihadapi.

3.  Memahami siapa customer serta mengasah kepedulian tentang ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer
Seorang pemimpin harus mampu memaknai posisi dirinya sesuai jabatan yang diamanahkan kepadanya. Ia juga harus mampu memainkan peran sebagai agen perubahan sesuai level kewenangannya tanpa membatasi nilai manfaat dan dampak perubahan yang akan dijalankan. Kepahaman atas kewenangan dan tanggung jawab akan menyadarkan seorang leader akan siapa sebenarnya customer atau orang-orang yang menjadi urusannya. Kepahaman itulah yang kemudian menjadi dasar untuk mengembangkan kepedulian tentang ekspektasi dan masalah apa yang dihadapi customer. Seorang value based leader tentunya akan selalu tertantang untuk dapat mewujudkan manfaat dirinya dalam menyelesaikan problematika yang dihadapi customer-nya itu. Dalam dirinya, bahagia adalah keadaan ketika ia sanggup untuk mewujudkan harapan atau membantu menuntaskan masalah orang lain.

4. Meningkatkan kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang toleransi dalam Inovasi
Kapasitas diri seorang value based leader berikutnya adalah kepedulian terhadap spiritualitas dan etika sebagai rentang toleransi dalam inovasi. Kapasitas ini merupakan pendalaman dari proses journey sebelumnya, yaitu pengukuran “kepantasan dan atau kepatutan” (bukan hanya sekadar kepatuhan) peran value based leader dalam melayani kepentingan publik.
Seorang leader harus mampu menentukan langkah paling tepat dari berbagai pilihan cara berinovasi tanpa harus melanggar nilai spitualitas dan etika. Semangat ingin bermanfaat kadang membuat seseorang terjebak ke dalam kondisi yang “tidak patut”atau bahkan “tidak patuh”. Agama apapun tentu melarang perbuatan yang merugikan orang lain atau merugikan negara. Keinginan menolong sesama ala Robin Hood barang tentu sudah tidak tepat lagi dilakukan di masa sekarang. Karena itu, keluwesan menyelaraskan inovasi dengan nilai etika merupakan tantangan tersendiri bagi seorang leader dalam melakukan perubahan.

5. Mengasah kemampuan teknik diagnostic reading: mempertajam skill analisis situasi dalam rangka meningkatkan kepedulian kepada customer
Seorang leader yang memiliki keyakinan tentang nilai manfaat diri harus mampu men-deliver nilai tersebut kepada customer. Nilai yang di-deliver akan berwujud solusi yang ditawarkan untuk memecahkan persoalan atau memenuhi harapan customer. Oleh karena itu, seorang value based leader harus mampu mengasah teknik analisi situasi yang disebut dengan diagnostic reading. Sebagai contoh, apabila customer merasa pelayanan yang diterimanya sekarang lambat dan berbelit-belit, maka nilai atau value yang ditawarkan sebagai solusi atas masalah tersebut seharusnya berupa kecepatan layanan.
Langkah selanjutnya menuju penemuan solusi kreatif atas masalah customer tersebut adalah memilah symptoms dan kemudian menemukan akar dari masalah itu sendiri. Jika mengacu kepada contoh lambatnya pelayanan, maka langkah yang harus dilakukan adalah menemukan penyebab utama dari masalah tersebut. Jika sudah berhasil dianalisis, maka akan memudahkan langkah selanjutnya, yaitu menentukan cara yang paling tepat untuk mempercepat proses pelayanan. Pada umumnya kategori cara itu akan mengerucut pada perbaikan salah satu atau lebih dari aspek equipment, people, policy, dan procedure.
Pada akhirnya, proses diagnostic reading akan menghasilkan formula “value + cara”. Jika value yang ditawarkan adalah kecepatan layanan, maka alternatif cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah inovasi dalam bentuk:

  • Pengadaan atau modernisasi peralatan dan sistem informasi (equipment);
  • Peningkatan kapabilitas personil (people);
  • Perumusan kebijakan yang memayungi pelaksanaan aktivitas (policy); atau
  • Perbaikan atau penyederhanaan cara atau prosedur pelayanan yang lebih bersahabat dengan customer (procedure).

6. Belajar menggunakan kanvas inovasi: “helicopter view” seorang pemimpin dalam membumikan idealisme langit menjadi rencana kerja operasional
Seorang leader harus memiliki “helicopter view” dalam mewujudkan solusi kreatif atas ekspektasi dan masalah yang dihadapi customer-nya.  Ia harus mampu menggambarkan bagaimana idealismenya yang diilhami dari nilai-nilai universal (nilai-nilai ketuhanan) dapat diwujudkan dalam rencana kerja yang mudah untuk dioperasionalisasikan. Untuk itu, ia harus menguasai tools yang dapat digunakan untuk merealisasikan hal itu, yaitu kanvas inovasi atau canvas model. Kanvas inovasi merupakan bangunan ide yang terdiri atas 9 building blocks. Sisi kanan berisi 5 blok (customer, value, benefit and revenue, channel, dan customer relationship) yang merupakan gambaran idealisme. Sisi kiri terdiri atas 4 blok (key activities, key partner, key resources, dan cost structure) yang merupakan komponen operasionalisasi dari ide  yang ada di sisi sebelah kanan.

Kanvas inovasi yang digunakan oleh seorang value based leader merupakan modifikasi dari business canvas model yang dikembangkan untuk pengembangan strategi bisnis di sektor privat. Perbedaannya terletak pada blok revenue and benefit. Dalam versi business model, benefit yang diharapkan tentu berupa revenue stream atau keuntungan yang dapat diraih oleh inovator itu sendiri. Sudut pandang itulah yang berbeda bagi seorang value based leader. Keinginan untuk bermanfaat bagi orang lain dapat diwujudkan dengan mengubah persepsi keuntungan pribadi menjadi manfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, tujuan akhir dari inovasi yang dilakukannya (benefit) selalu berorientasi pada organisasi dan customer.

7. Mengenal potensi diri dalam rangka mencapai level kreativitas yang optimal dan menjadi pemimpin yang otentik
Setelah melalui rangkaian proses journey untuk mengenali potensi “di luar” diri dalam mengelola perubahan, maka aktivitas berikutnya bagi value based leader adalah merenungkan potensi diri. Melalui pendekatan model psikologis, seorang leader harus menemukan karakter khas dengan melakukan proses pengenalan potensi diri. Hal ini penting karena salah satu prinsip dasar pengelolaan perubahan adalah kemampuan merubah diri sebelum mengajak orang lain berubah. Oleh karena itu, ia harus mengenal siapa dirinya, apa yang ia ketahui dan tidak ketahui tentang dirinya (Johari Windows).
Dengan mengetahui potensi terbaik yang ada dalam dirinya, seorang pemimpin dapat dengan mudah menentukan langkah dalam rangka mencapai level kreativitas yang optimal. Selain itu, ia juga dapat mengetahui model kepemimpinan apa yang paling otentik khususnya dari perspektif para stakeholder dan/atau tim yang akan dilibatkan dalam proyek perubahan.

8. Melatih kecerdasan emosional dalam berinteraksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Seorang leader harus mampu mengelola kecerdasan emosional, khususnya ketika ia berinteraksi dengan para stakeholders-nya. Ia harus berlatih mengembangkan sikap dan perilaku yang produktif untuk dapat “tahan banting” dan mampu ”melejit” dalam menghadapi segala tantangan dan kesulitan yang mungkin akan dihadapi. Dalam dunia nyata, perancangan dan implementasi value based dalam aktivitas organisasi kerap menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pengubahan cara pandang orang-orang dalam organisasi menuju perspektif customer sering difahami sebagai ancaman atas kenyamanan sebuah “status quo”. Oleh karena itu, ia harus selalu mampu memilah respon terbaik atas aksi stakeholders yang mungkin tidak diharapkan ketika melakukan suatu “proyek perubahan”.

9.  Membangun sinergi
Seorang leader harus mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak. Membangun tim efektif, melakukan koordinasi dan kolaborasi, serta membangun budaya organisasi yang kondusif merupakan faktor-faktor penting yang harus diciptakan seorang leader.
Seorang leader harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang profil susunan tim yang akan diajak untuk membuat suatu proyek perubahan. Pemahaman tersebut diperlukan pemimpin untuk menyusun peta stakeholders, sehingga ia dapat menjawab pertanyaan bagaimana mengelolanya agar efektif. Ia harus mampu menganalisa profil semua stakeholders agar dapat menetapkan pilihan strategi yang tepat dalam mengelola tim perubahannya.
Problem klasik terkait komunikasi antar lini organisasi di lingkungan birokrasi selalu menjadi masalah utama suskesnya suatu program atau kegiatan. Untuk itu, seorang leader harus mengasah kemampuan teknik koordinasi dan kolaborasi, baik dengan rekan sejawat maupun dengan rekan di luar unit kerjanya. Ia harus mampu merumuskan solusi pilihan teknik komunikasi yang bersifat koordinatif dan kemampuan untuk melihat celah berkolaborasi dengan unit kerja lain untuk menciptakan sinergi dalam pengelolaan proyek perubahan.
Bagi seorang leader, kedua kompetensi tersebut diukur dari keberhasilannya dalam memobilisasi dukungan. Praktek bekerja secara sendiri relatif dapat dipastikan tidak akan mampu mendongkrak kinerja perubahan. Karena itu, bekerja dengan orang lain merupakan poin penting yang tidak dapat diabaikan. Seorang leader harus mampu mengembangkan kemampuan memilih strategi inovatif “working with other people” agar perubahan yang dilakukan dirasakan sebagai karya bersama termasuk dalam proses maintenance dan development nantinya. Dengan demikian, salah satu indikator keberhasilan seorang pemimpin adalah ketika mampu menggerakkan secara sinergis beberapa level operasional untuk menciptakan nilai tambah perbaikan layanan publik.  Pergerakan tersebut harus diikat dalam kesatuan tema agenda proyek perubahan pada level organisasi, sehingga harus dipastikan apakah berjalan berkesinambungan untuk menjadi sebuah budaya kerja yang lebih baik.

10. Benchmarking: Belajar dengan mengalami
Sebagai sebuah experiential learning, journey of value based leadership memerlukan fase pembelajaran dengan cara mengalami langsung success story implementasi inovasi berbasis nilai yang telah dilakukan. Oleh karena itu, penting juga bagi seorang leader untuk melakukan benchmarking ke best practice agar dapat melihat secara langsung karya-karya inovasi berbasis nilai yang telah dihadirkan dalam dunia nyata. Ia harus menyaksikan realita pengelolaan perubahan secara komprehensif dan mencoba mempelajarinya dengan melihat, mendengar, merasakan, dan terlibat dalam proyek perubahan yang dilaksanakan di obyek yang dikunjungi. Lalu, ia harus mencoba mendefinisikan aktualisasi nilai kepemimpinan, kepedulian terhadap masalah publik, pilihan strategi inovatif, proses pengelolaan perubahan secara berkesinambungan, serta dampak yang dirasakan oleh masyarakat pengguna layanan.
Pada akhirnya, ia dapat mengambil leason learnt untuk membaca peluang adopsi dari praktek yang ada di obyek visitasi untuk penerapan  subtansi proyek perubahan di organisasi yang ia pimpin.  

11. Proyek Perubahan Berbasis Value: Sebuah Aktualisasi Value Based Leader.
Setelah mengalami proses journey, akhirnya seorang value based leader harus mampu mengaplikasikan seluruh kompetensinya dengan membuat rancangan proyek perubahan. Proyek ini merupakan wujud nyata operasionalisasi dari sebuah idealisme, sehingga proyek yang dirancang haruslah proyek yang berbasis nilai manfaat bagi customer. Value based project ini merupakan pendekatan baru yang menggeser paradigma yang banyak dijumpai saat ini, yaitu activity based project. Output kunci yang menjadi target utama value based project tidaklah sekedar bagaimana suatu project bisa berjalan, tetapi harus sampai kepada penciptaan value yang diinginkan. Seorang leader harus mampu untuk terus me-maintain kondisi tercipta dan ter-deliver-nya value tersebut kepada customer, sehingga mendorong terciptanya outcome berupa manfaat bagi customer. Untuk itu, ia harus juga mampu menerapkan strategi marketing sektor publik  yang tepat dalam menjual ide perubahan agar dapat diterima oleh semua stakeholders.

Friday 22 January 2016

Belajar Menjadi Pejabat yang Dicintai Kepada Dr. Daeng Mochamad Nazier



Ketika Engkau datang, orang sekelilingmu bahagia
Ketika Engkau pergi, orang sekelilingmu menangis
Itulah ciri pribadi yang bermanfaat dan dicintai

Pak Daeng atau pria bernama lengkap Daeng Mochamad Nazier adalah salah satu legenda hidup di BPK. Mantan pejabat eselon I yang menghabiskan masa baktinya di BPK pada akhir Tahun 2012 itu adalah role model seorang pejabat yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Semua orang – baik atasan, kolega, apalagi bawahan – menaruh respek yang besar kepada dirinya. Determinasinya dalam bekerja diakui oleh semua kalangan telah membawa perubahan yang signifikan kendati beliau hanya mengabdi di BPK kurang lebih hanya lima tahun saja. Orang-orang muda BPK yang tengah dipenuhi semangat perubahan, tiba-tiba kedatangan sosok yang mampu mengajak mereka "berlari" hingga membuat BPK menjadi tempat bekerja yang "pantas" untuk dibanggakan. Maka dari itu, pantas saja ketika beliau memasuki masa purnabakti, banyak orang “menangis” karena kehilangan sosok pemimpin sekaligus guru yang mengajarkan banyak hal luar biasa dalam bekerja.

“Saya takut tidak cukup pantas untuk menerima penghasilan sebesar nilai remunerasi yang saya terima sekarang”. Kurang lebih, kalimat itulah yang terlontar dari lisan Pak Daeng ketika BPK resmi mendapatkan remunerasi yang cukup besar sebagai apresiasi atas keberhasilan BPK mengimplementasikan reformasi birokrasi. Tampak sekali di mata kami sebagai anak buahnya, beliau mengajarkan bahwa bertambahnya penghasilan bukan hanya untuk disyukuri, tetapi juga disadari sebagai beban yang harus dibayar dengan kerja keras dan prestasi. Tentu saja, kalimat yang dilontarkan beliau itu terasa mendalam dan berkesan bagi kami karena kata-kata itu wujud dalam perbuatan dan kesungguhan beliau dalam bekerja.

Bukti integritas diri Pak Daeng nampak sekali dalam hal “jam kerja” beliau yang tidak mengenal kata lelah. “Tidak ada waktu” bukanlah kata-kata yang ada dalam kamus hidup beliau. Beliau sering sekali menyambangi kami ketika kami kerja sampai larut malam. Pukul 11 atau 12 malam merupakan hal biasa bagi beliau untuk membahas pekerjaan bersama kami. Tidak sampai di situ, jika beliau tidak bisa hadir, beliau minta hasil pekerjaan itu di-email atau print out-nya dikirim kerumah beliau jam berapapun. Suatu kesempatan, kami mengirim print out pekerjaan ke rumah beliau pukul 3 pagi. Luar biasanya, pukul 8 esok paginya, beliau sudah datang ke tempat kami kerja dan di kertas yang semalam kami kirim itu sudah penuh dengan coretan koreksian. Terbayar rasanya semua lelah dan letih akibat kerja lembur ngejar deadline. Respon luar biasa dari beliau yang rela membaca hasil kerja kami pada jam-jam istirahat membuat kami merasa “dihargai” dan kami merasa kalau beliau selalu bersama dan menemani kami bekerja. 

Begitulah rasanya bekerja keras bersama pemimpin yang juga mau sama-sama bekerja keras. Beliau tidak hanya memerintah, tapi juga memberi contoh serta selalu “hadir” dalam setiap aktivitas anak buahnya. Bekerja bersama Pak Daeng bak berlatih yoga. Kami diajak beliau untuk bekerja melebihi batas kemampuan yang ada sekarang, tetapi pada akhirnya terbiasa dan malah menikmatinya. Demikian, salah satu pejabat eselon 3 di bawah Pak Daeng saat itu, yaitu Ibu Felicia Yudhaningtyas melukiskan.

Lebih dari itu, pada suatu hari kami rapat bersama beliau. Saat itu wajah beliau terlihat pucat sehingga kami tahu kalau beliau sedang kurang sehat. Lalu kami tanya, “Bapak sakit?“ Lalu beliau menjawab kalau baru saja pulang dari rumah sakit untuk memeriksakan lambungnya. “Saya masih pusing” kata beliau. Ternyata beliau baru saja melakukan pemeriksaan endoskopi.  Salah satu prosedur yang harus dijalani dalam pemeriksaan itu, pasien harus meminum sejenis cairan mirip susu sebelum alat endoskopi dimasukan kedalam tubuh melalui mulut. Cairan itulah yang efeknya masih dirasakan oleh Pak Daeng sampai dengan beliau rapat bersama kami. Lagi-lagi di kala itu kami dibuat tercengang dengan semangat kerja beliau. Seakan-akan energi beliau itu tidak ada batasnya sampai kami kehabisan kata-kata untuk melukiskan etos kerja beliau, padahal masih banyak cerita tentang determinasi Pak Daeng dalam bekerja yang tidak dapat kami ceritakan di sini.

Satu lagi keistimewaan pria yang setelah pensiun dari BPK diangkat oleh Menteri Keuangan Chatib Basri menjadi Ketua Komite Pengawas Perpajakan itu adalah konsistensinya untuk tampil sebagai pribadi yang saleh. Beliau termasuk sedikit dari sekian banyak pejabat eselon I yang disipilin dalam menjaga shalat tepat waktu dan berjamaah di masjid. Setiap 10 hari terakhir Ramadhan, beliau selalu cuti untuk melakukan itikaf walaupun tetap ngantor dan bekerja seolah-olah tidak sedang cuti. Luar biasa!! Malam beliau itikaf, siangnya ngantor. Pengambilan cuti hanya untuk mendapatkan fleksibilitas waktu, karena kalau tidak diperlukan, beliau tidak perlu ke kantor. Sebuah tauladan yang luar biasa. Beliau membuktikan bahwa kesungguhan dalam spiritualitas bukan merupakan penghalang untuk berprestasi.

Kesalehan Pak Daeng juga tercermin di keluarga terutama di pasangan hidup. Para ibu dharma wanita sering menceritakan kalau istri Pak Daeng itu memiliki sikap rendah hati. Syahdan, dalam suatu acara family gathering BPK, Bu Daeng pernah ditanya oleh seorang istri pejabat lainnya yang kebetulan adalah anak buah Pak Daeng Sendiri. “Suami ibu kerja di sini ya?” tanya si istri pejabat. “Ya, alhamdulillah suami saya dipercaya menjadi kepala satpam” jawab Bu Daeng sambal tersenyum serta dengan wajah yang ramah. Bayangkan!! Suatu jawaban beyond expectation yang keluar dari lisan seorang istri pejabat tinggi. Tidak ada kesan tersinggung pada diri Bu Daeng bahwa istri anak buah suaminya tidak tahu “siapa” dirinya. Bandingkan dengan istri pejabat lain, sudah barang tentu dapat dibayangkan jawaban apa yang akan terlontar. Hal itu mencerminkan kuatnya nilai diri Pak Daeng yang juga direfleksikan oleh anggota keluarganya. 

Demikian istimewanya Pak Daeng, kami merasa bahwa sampai saat ini belum ada sosok yang dapat menggantikan beliau. Beliau adalah sosok pemimpin “paket lengkap” yang selalu kami rindukan untuk membuat bangsa ini lebih baik lagi ke depan. Bangsa ini butuh pemimpin yang memiliki determinasi yang luar biasa dalam bekerja, tetapi sekaligus memiliki pribadi yang saleh seperti beliau. Selamat menjalani masa purnabakti Pak! Selamat berkarya di tempat lain! Kami rindu Bapak.

Baca Juga:

Value Based Leadership: Sebuah Journey Menuju Penciptaan Karakter Seorang Pemimpin yang Memiliki Nilai Manfaat
Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan
Menjadi PNS yang Profesional, MUNGKINKAH?
Seri Belajar Nilai Diri Kepada Guru Kehidupan : Om Beck

 

 

 



Wednesday 30 December 2015

Value Based Leadership: Sebuah Journey Menuju Penciptaan Karakter Seorang Pemimpin yang Memiliki Nilai Manfaat



“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
“sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Al-Insyirah (QS.94: 5-6)

Life is a school and you are here to learn. Problems are simply part of the curriculum and fade away like algebra class but the lessons you learn will last lifetime (Daily Health Gen by Life Hacker India)


Perjalanan hidup merupakan journey yang menjadi faktor utama terbentuknya karakter seorang pemimpin. Pendidikan, pengalaman, budaya, keluarga, dan organisasi merupakan faktor-faktor yang berperan besar dalam proses pengembangan keyakinan seseorang. Semua itu menjadi satu paket “experiential learning” yang akan sangat mempengaruhi proses pembentukan karakter seorang pemimpin yang memiliki value yang baik atau malah sebaliknya.

Keyakinan terhadap konsep manfaat diri itu berkaitan dengan "rasa". Oleh karena itu, pengenalan terhadap "rasa" atau "kenikmatan" menjadi pribadi yang bermanfaat hanya dapat diperoleh dengan “mengalami”.  Meyakini sebuah "rasa" tidak cukup hanya dengan mendengarkan “ceramah”, tetapi harus ada suatu proses pembuktian. Hal itu dikarenakan nilai diri bukan hanya sebuah jargon yang diperoleh dari proses pemikiran atau kognitif, tetapi hasil dari proses pemahaman yang panjang berdasarkan pengalaman hingga tertanam di alam bawah sadar seseorang.

Lika-liku kehidupan yang serba sulit kadang menjadikan seseorang tumbuh dengan kemampuan problem solving yang baik. Selain dituntut untuk tegar, keharusan keluar dari masalah membuat seseorang terbiasa untuk peka dalam membaca masalah dan mencari jalan keluar. Kemampuan mencari informasi yang berguna (information seeking) dalam setiap situasi yang sulit juga terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Kesulitan juga menuntut seseorang untuk sadar bahwa dirinya membutuhkan orang lain sehingga ia harus menjadi pribadi yang mudah bergaul dan menyenangkan orang lain.

Sebagaimana kisah percobaan atas kepompong kupu-kupu dengan cara membelah kepompong untuk membantu kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah. Jika kepompong dibelah sebelum waktunya, maka kupu-kupu tersebut justru mati. Pun ketika dibelah pada waktu alamiahnya, yaitu pada hari ke-21, kupu-kupu tidak dapat ber-metamorfosis ke bentuknya yang paling sempurna. Sayapnya kecil dan rapuh sehingga kupu-kupu tersebut tidak dapat bertahan hidup lama. Rahasianya adalah adanya kesulitan yang membawa manfaat besar dalam proses keluarnya kupu-kupu dari dalam kepompong. Rupanya, untuk berubah dari ulat menjadi kupu-kupu ia harus mengorbankan dirinya dengan menghancurkan tubuhnya menjadi cairan yang justru menjadi nutrisi bagi embrio kupu-kupu. Kesakitan yang dialami oleh sang kupu-kupu harus dialami sampai "tuntas" hingga ia memiliki cakar yang kuat untuk merobek bagian ujung  kepompong pada saat ia mau keluar. Terbentuknya cakar itu merupakan tanda bagi kupu-kupu bahwa sayapnya telah terbentuk dengan sempurna dan ia siap untuk mengarungi kehidupan barunya dalam bentuk yang lebih indah dari bentuk asalnya. Demikianlah, alam mengajarkan kepada kita bahwa di balik kesulitan ada kemudahan.

Untuk belajar tentang nilai manfaat kehidupan, sebagian orang malah “menciptakan kesulitan” dalam hidup mereka sendiri. Mengabdikan diri untuk melakukan hal-hal yang sulit justru menjadi pilihan hidup. Mengajar atau menjadi tenaga kesehatan di desa pedalaman merupakan sebagian bentuk pilihan bagi mereka yang berusaha mencari makna hidup daripada uang. Demikian tulisan Prof. Renald Kasali yang berjudul “Mereka Cari Jalan Bukan Uang”. Dalam tulisan itu, beliau menceritakan kisah orang-orang yang lebih mendahulukan untuk mencari “meaning” ketimbang uang justru sukses pada akhirnya. Tentu saja sukses yang penuh makna dan lebih langgeng karena karakter pribadi yang bermanfaat begitu melekat pada dirinya, sehingga kesuksesan yang diraih tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pengalaman hidup seseorang dapat membawanya kepada penemuan bahwa untuk keluar dari masalah adalah justru dengan membantu orang lain. “more you give… more you get” demikian menurut pepatah asing. Ajaran agama Islam menegaskan “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (QS. 99:7). Dalam ajaran agama Nasrani juga ada hukum “tabur tuai”, dan dalam ajaran agama Hindu ada “hukum karma”. Bahkan Islam mengajarkan ketika seseorang ditimpa kesulitan, ia disarankan untuk bersedekah, jika mungkin dengan harta yang paling dicintai. Ini mirip rumus pertahanan dalam sepakbola yang menyatakan bahwa menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.

Semua hukum itu menegaskan bahwa “memberi” adalah jalan yang terbaik untuk memperoleh jalan keluar. Jika hal itu dilakukan dalam kurun waktu yang lama, maka hal tersebut akan menjadi kebiasaan yang kemudian berbuah karakter diri yang senantiasa senang memberi manfaat. Proses “mengalami” adalah jalan menuju kepada keyakinan. Jika di masa depan orang tersebut menjadi pemimpin, dapat dipastikan ia akan menjadi pemimpin yang amanah dan senantiasa senang memberi manfaat kepada siapa saja yang menjadi “urusannya”. Inilah makna dari value based leadership, yaitu memimpin orang lain dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan sang pemimpin. Pemimpin yang memiliki prinsip manfaat tidak dapat ditawar atau dipengaruhi nilai-nilai fundamental orang lain.

Seorang pemimpin yang memiliki  nilai diri selalu memimpin dengan hati, bermanfaat bagi orang lain, tanpa pamrih,  dan tidak mengutamakan kekuasaan, uang, status, atau ketenaran. Hal-hal yang dilakukannya tidak selalu harus canggih atau sophisticated, malah mungkin sesuatu yang sederhana tetapi bernuansa manfaat yang besar. Kepedulian seorang pemimpin akan membawanya untuk mampu mencari jalan keluar bagi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu organisasi atau masyarakat. Cara yang dipilih selalu berpijak pada nilai diri sang pemimpin. Ia tidak selalu mengandalkan uang atau materi untuk menciptakan inovasi yang cerdas. Pengalamannya dalam menyelesaikan masalah hidupnya di masa lalu menjadi energi atas etos kerjanya sehingga ia mampu tampil sebagai pemenang tanpa harus keluar dari nilai yang menjadi pegangannya.

Pernyataan nilai diri seseorang dapat bermacam-macam bentuk dan caranya. Namun, semua terangkum dalam satu kata, yaitu manfaat diri untuk orang lain. Tokoh-tokoh dunia berikut adalah contohnya. 

  • Mahatma Gandhi - keyakinan utamanya tentang cara-cara non kekerasan untuk mencapai manfaat berupa kemerdekaan.
  • Ibu Teresa - Dikenal dengan sumpahnya yang tak tergoyahkan untuk senantiasa membantu dunia yang membutuhkan. Ibu Teresa berjuang untuk orang miskin, orang sakit, yatim, dan orang yang sedang sekarat sekalipun.
  • Martin Luther King, Jr - pemimpin gerakan hak-hak sipil berdasarkan keyakinannya atas persamaan ras melalui langkah-langkah damai.
  • Nelson Mandela - Seorang mantan Presiden Afrika Selatan yang berjuang untuk mengakhiri praktek Apartheid dan membawa demokrasi ke Afrika Selatan.
Pada akhirnya, nilai diri seorang pemimpin itu harus wujud dalam tindakan. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Harry Jensen Kramer Jr. dalam bukunya yang berjudul “From Values to Action: The Four Principles of Values-Based Leadership”, ada empat ciri penting dari seorang pemimpin berbasis nilai.

  1. Self-reflection adalah sifat yang diperlukan bagi seseorang untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi nilai-nilai fundamental-nya. Ia harus menyadari bagaimana pengalaman, pendidikan, prioritas, keyakinan, dan nilai-nilai mempengaruhi cara bagaimana dia membuat keputusan, memimpin orang lain, dan menangani konflik. Aktivitas Self-reflection akan meningkatkan pemahaman seseorang tentang dirinya sendiri.
  2. Balance atau keseimbangan diukur dari kemampuan seseorang untuk melihat situasi dari perspektif yang berbeda. Ia harus tetap berpikiran terbuka dan mempertimbangkan semua pendapat sebelum membuat keputusan atau mengevaluasi suatu situasi atau kondisi. Sifat ini juga berarti ia mampu mencapai tingkat keseimbangan yang sehat antara kerja dengan hidup sehingga dapat menjadi contoh bagi orang lain untuk mengikuti jejaknya.
  3. Self-confidence atau kepercayaan diri sangat penting bagi para pemimpin untuk benar-benar percaya pada diri mereka sendiri. Pemimpin harus mampu mengidentifikasi area kekuatan dan kelemahan sambil terus meningkatkan kemampuan mereka. Pemimpin yang memiliki kepercayaan diri justru sekali-kali meminta bantuan orang lain bila diperlukan dan sebaliknya menggunakan kemampuan mereka untuk membantu orang lain.
  4. Humility atau kerendahan hati adalah sifat yang membuat seseorang membumi dan terus hidup dalam perspektif yang selalu terbuka. Kerendahan hati mendukung kemampuan seseorang untuk menghormati orang lain, dan opini nilai orang lain. Seseorang tidak boleh berasumsi bahwa ia tahu lebih atau tahu apa yang terbaik; tidak seperti itu, seseorang harus tetap rendah hati dalam melakukan penilaian terhadap  suatu situasi atau kondisi.
Terlepas dari posisi, tingkat, jenis kelamin, usia, atau etnis, seseorang dapat menerapkan tiap-tiap ciri tersebut di atas. Seseorang tidak harus menunggu sampai dia mencapai posisi tinggi sebelum menjadi pemimpin yang berbasis nilai. Dia hanya perlu tahu akan menjadi pemimpin seperti apa, dan segera memulai untuk mencapainya. Sentuhan nilai diri akan menciptakan determinasi atau kesungguhan yang menjadi pengungkit etos kerja dan kelincahan dalam mencari cara yang paling tepat dengan fokus pada tujuan untuk menyelesaikan masalah dan tentu saja bermanfaat bagi orang lain.

Baca Juga: Persembahan dari Value Based Team

Peran Seorang Muslim sebagai Pendorong Inovasi di Sektor Publik dengan Menanamkan Prinsip Value Based Leadership

Seri Belajar Nilai Diri Kepada Guru Kehidupan : Om Beck

Menjadi PNS yang Profesional, MUNGKINKAH?

Perjalanan Singkat Mengawal Pioner Agen Perubahan